Surabaya, Slentingan.com – Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak dituntut 12 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar, dan dicabut hak politik menduduki jabatan publik selama lima tahun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Surabaya, Jumat (8/9/2023).
Dalam tuntutannya, JPU KPK Arif Suhermanto menyebutkan bahwa Sahat terbukti menerima suap dana hibah dari dua terdakwa sebelumnya yaitu Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi selaku pengelola kelompok masyarakat (pokmas) tahun anggaran 2020-2022.
“Menuntut untuk menjatuhkan pidana penjara terhadap Sahat dengan pidana penjara 12 tahun dikurangi dengan masa tahanan selama persidangan, dan denda Rp1 miliar, subsider 6 pidana kurungan bulan, dan tetap ditahan,” ujar JPU KPK, Arif Suhermanto.
Selain itu, Arif Suhermanto juga menuntut agar terdakwa membayar biaya pengganti senilai Rp 39 miliar.
Jika tidak segera dibayar dalam kurun waktu selama pelaksanaan persidangan rampung, maka pihak Jaksa dapat melakukan penyitaan terhadap harta benda terdakwa Sahat.
Namun, manakala harta benda terdakwa yang disita tak mencukupi nilainya untuk membayar biaya pengganti tersebut. Maka, diganti dengan pidana penjara enam tahun.
“Terdakwa harus mengganti uang pengganti biaya perkara sejumlah Rp 39 miliar selama proses pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap,” jelasnya.
“Jika dalam waktu tersebut belum membayar pengganti, maka harta akan disita oleh Jaksa agar dipakai menutupi uang pengganti tersebut,” terangnya.
“Dalam hal terdakwa tidak memiliki harta benda yang mencukupi, maka diganti dengan pidana penjara 6 tahun,” tambahnya.
Selain itu, Arif Suhermanto menambahkan, pihaknya juga menuntut pidana tambahan dengan mencabut hak terdakwa Sahat dalam menduduki jabatan politik selama lima tahun, setelah rampung menjalani masa hukuman penjara.
“Menjatuhkan pidana tambahan, berupaya mencabut hak politik terdakwa sahat untuk menduduki jabatan publik selama 5 tahun, terinduksi setelah selesai masa pemidanaan,” katanya.
Terkait keadaan yang memberatkan terdakwa hingga akhirnya terpaksa dituntut dengan pidana maksimal tersebut.
Arif Suhermanto menerangkan, terdapat empat aspek keadaan yang memberatkan terhadap tuntutan terdakwa.
Yakni, pertama, terdakwa tidak mendukung pemerintahan dalam membuat program pemerintah dalam mewujudkan program yang bersih dari KKN.
Kedua, perbuatan terdakwa merusak penilaian masyarakat terhadap lembaga negara dalam tingkat provinsi.
Ketiga, terdakwa berbelit-belit memberikan keterangan dalam persidangan.
“Keempat, terdakwa belum mengembalikan uang yang dinikmatinya,” pungkasnya.
Sementara itu, mendengar tuntutan tersebut Sahat P Simandjuntak tampak hanya menundukkan kepala.
Setelah sidang rampung, ia lantas berdiri dengan gestur tubuh lunglai, lalu berjalan keluar ruang persidangan dengan kondisi mulut yang menutup rapat.
Rentetan pertanyaan dari awak media yang berdiri berkerumun di depannya diacuhkan.
Sahat berjalan menyusuri lorong ruang sidang, lalu ke teras depan deretan ruang sidang, hingga ke ruang tahanan sementara, tanpa menghiraukan awak media di belakangnya.
Keengganan merespon tuntutan JPU tersebut juga ditunjukkan ketiga anggota penasehat hukum (PH) terdakwa Sahat.
Mereka malah mengembalikan pernyataan atas respon hasil sidang tuntutan tersebut kepada sang kliennya terdakwa Sahat.
“Langsung saja ke Pak Sahat ya,” ujar salah seorang PH terdakwa Sahat, seraya melepas pakaian persidangan di balik meja.(HUM/BAD)