SURABAYA, Slentingan.com – Di tengah kebutuhan beras Surabaya yang menembus 15.775 ton per bulan, ancaman krisis pangan menjadi bayang-bayang serius bagi kota berpenduduk 3,02 juta jiwa ini.
Data BPS 2022 menunjukkan, lahan sawah di Surabaya kini tersisa 1.127,3 hektare di 13 kecamatan — angka yang terus tergerus oleh pembangunan.
Politisi muda PDI Perjuangan, Achmad Hidayat, menyebut situasi ini sebagai “alarm” yang harus segera dijawab dengan kebijakan strategis.
Ia mengusulkan pembentukan Lumbung Pangan Kota dan pengolahan singkong menjadi beras singkong sebagai sumber karbohidrat alternatif.
“Singkong lebih murah, produktivitasnya lima kali lipat dari padi, dan tahan terhadap perubahan cuaca. Jika kita popularkan, ini bisa menjadi tonggak ketahanan pangan Surabaya,” tegasnya.
Achmad memaparkan, dengan 35 hektare lahan singkong, produksi bisa mencapai 1.050 ton per panen. Jika panen dilakukan dua kali setahun, 20 persen kebutuhan pangan Surabaya dapat dipenuhi tanpa bergantung penuh pada pasokan luar daerah.
Ia juga menyoroti pentingnya diversifikasi pangan sebagai kunci kedaulatan pangan.
“Bung Karno sudah mengingatkan: pangan adalah persoalan hidup atau matinya bangsa,” ujarnya, seraya mengutip pesan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, agar masyarakat mempopulerkan makanan pendamping beras.
Bagi Achmad, gagasan ini bukan sekadar proyek pertanian, melainkan strategi politik jangka panjang untuk memastikan rakyat Surabaya tetap sejahtera.
Ia berharap Pemkot Surabaya di bawah kepemimpinan Eri Cahyadi segera merespons, sambil melibatkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk mengembangkan riset beras singkong.
“Ini soal harga diri daerah. Kalau kita bisa produksi sendiri, rakyat tidak akan menjadi korban gejolak harga pangan,” pungkasnya. HUM/BOY