SURABAYA, Slentingan.com – Sebanyak 46 kasus campak di Kota Surabaya pada bulan Januari 2023, dinyatakan sudah sembuh. Hal tersebut tak lepas dari kerja keras Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya dalam menggejot cakupan tambahan imunisasi Measles Rubella (MR) bagi sasaran di wilayah berisiko.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Nanik Sukristina memastikan, pihaknya juga melaksanakan door to door bagi sasaran BIAN (Bulan Imunisasi Anak Nasional) dan BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah) yang belum diimunisasi untuk menjamin pemerataan di Kota Pahlawan.
“Seperti yang kita lakukan kemarin, BIAN dan BIAS itu merupakan upaya pencegahan penyakit campak. Alhamdulillah, vaksin capaian BIAN dan BIAS kita sudah melebihi dari target,” kata Nanik Sukristina, Jumat (27/1/2023).
Ia menjabarkan bahwa target Nasional untuk antigen MR pada tahun 2022 adalah 95 persen. Sedangkan capaian MR 1 di Surabaya, sudah 99,3 persen untuk usia 9 bulan dalam imunisasi dasar lengkap. Kemudian untuk MR 2, mencapai 101,99 persen pada usia 18-24 bulan dalam imunisasi booster baduta (anak usia di bawah dua tahun).
“Untuk capaian BIAN di atas target Nasional, lebih dari 95 persen. Capaian MR 1 sebesar 99,3 persen untuk usia 9 bulan. Dan untuk MR 2, mencapai 101,99 persen dengan sasaran usia 18-24 bulan atau di bawah usia 2 tahun,” ungkap dia.
Nanik juga menyebutkan, sebelumnya terdapat 46 kasus campak di Kota Surabaya pada awal Januari 2023. Kasus tersebut merupakan limpahan dari wilayah tetangga yang sedang berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB). Namun, sekarang ini 46 kasus campak tersebut sudah sembuh.
“Memang rata-rata ada di wilayah Surabaya Utara. Kasus campak ada 46 di bulan Januari 2023, tapi alhamdulillah semuanya sudah sembuh. Jadi bukan kasus di tahun 2022, tapi kasus di awal tahun 2023,” ungkap dia.
Menurut Nanik, faktor timbulnya penyakit campak bukan dikarenakan musim. Penyakit tersebut disebabkan oleh penyakit akut dan menular oleh virus RNA dari genus Morbillivirus, keluarga Paramyxoviridae. Virus tersebut mudah mati karena panas dan cahaya.
“Bukan karena musim, tapi memang penularannya cepat sekali. Mungkin mobilitas warga di Surabaya utara cepat sekali ke daerah-daerah yang KLB,” terangnya.
Nanik pun meminta masyarakat untuk mengenali ciri-ciri atau gejala penyakit campak yang harus diwaspadai. Di antaranya, panas badan biasanya > 38 derajat celcius selama 3 hari atau lebih. Juga, disertai gejala batuk, pilek, mata merah atau mata berair.
“Bercak kemerahan/rash/ruam yang dimulai dari belakang telinga berbentuk makulopapular selama 3 hari atau lebih, beberapa hari kemudian (4-7 hari) akan menyebar ke seluruh tubuh,” paparnya.
Kemudian, ditemukan tanda khas bercak putih keabuan dengan dasar merah di pipi bagian dalam. Juga, mengalami bercak kemerahan setelah 7–30 hari yang akan berubah menjadi kehitaman dan disertai kulit bersisik.
“Untuk kasus yang telah menunjukkan hiperpigmentasi, maka perlu dilakukan anamnesis dengan teliti. Apabila pada masa akut (permulaan sakit) terdapat gejala-gejala yang telah disebutkan, maka kasus tersebut merupakan kasus suspek campak,” imbuhnya.
Nah, untuk mencegah penularan kasus tersebut di wilayah berisiko, pihaknya memastikan telah melibatkan seluruh Fasilitas Layanan Kesehatan (Fasyankes), yang meliputi puskesmas, rumah sakit, dan klinik. Setiap Fasyankes akan melaporkan apabila menerima pasien dengan gejala demam dan ruam yang akan dikelompokkan sebagai suspek campak.
“Selanjutnya akan ditatalaksana dengan pengambilan dan pemeriksaan serum darah serta PE (Penyelidikan Epidemiologi) untuk pelacakan di lapangan,” jelasnya.
Langkah pencegahan dan kewaspadaan penularan terhadap penyakit campak di wilayah berisiko, telah dilakukan Dinkes Surabaya sejak akhir tahun 2022. “Hal ini dilakukan secara agresif sejak akhir tahun 2022, mengingat adanya risiko penularan melalui wilayah perbatasan Surabaya,” jelasnya.
Menurutnya, kasus campak dengan klinis ringan, tidak perlu mendapatkan perawatan rumah sakit. Namun, dapat dirawat di rumah dengan protokol kesehatan ketat dan dipantau oleh bidan/perawat setempat. Termasuk pula membatasi mobilitas selama tujuh hari.
“Sedangkan kasus campak dengan kondisi berat seperti sesak nafas (Pneumoniae), diare berat, radang selaput otak perlu tatalaksana rumah sakit dengan perawatan intensif secara isolasi. Ini untuk mencegah penularan nosokomial,” pungkasnya. (GIT/NIK)